Tuesday, October 07, 2008

Morotai dan Dodola

Yep! Bangun pagi setelah membeli perlengkapan perjalanan ke Dodola, Om Jony datang menjemput. Oh iya, aku kenalkan dulu ya si bapak satu ini. Dia Belanda-Ambon yang punya usaha di pembiakan rumput laut di Dodola. Kami akan tinggal di tempatnya semalam, karena harus kembali ke Tobelo untuk melihat upacara adat perkawinan. Om Jony meminta temannya menjemput kami di Daruba karena dia baru akan menyusul sorenya ke Dodola.

Kami naik katinting, perahu kecil dengan mesin sekitar 5PK dan paling banyak sanggup menampung 5 orang. Katinting di sini cukup aman, karena mempunya semacam 'sayap', bambu yang diikat di kiri dan kanan perahu untuk menjamin keseimbangannya. "Tolong bantu E untuk mengeluarkan air dari katinting ya Mbak," pesan beliau sebelum kami meninggalkan dermaga Daruba. Kadang-kadang, air masuk ke katinting, untuk mengurangi beban (dan biar ga karam), air harus diciduk keluar.

E mulai mengarahkan katinting ke arah barat. Beruntung aku duduk di depan, jadi aku bisa melihat bebas pulau-pulau yang kami lewati. Pulau pertama berpasir putih yang kami lewati, aku bisa melihat pantai yang tidak luas dan kapal tertambat di sana, selebihnya masih dipenuhi hutan bakau. Mudah-mudahan bukan Dodola, bisikku dalam hati. Ga seru aja berenang dekat hutan bakau. Aku sering membayangkan ular di sana. Kapal melewati pulau itu, syukurlah. Di tengah perjalanan banyak burung-burung yang terbang lalu hinggap di kayu-kayu yang mengapung. Kemudian kami mulai melihat lagi... lebih banyak burung, kali ini terbang rendah di laut dan sibuk mematuk sana sini. Pasti ada ikan, kata Agi. Pelan-pelan katinting menuju ke arah burung-burung itu. Benar saja. Cakalang!! Lompat-lompat keluar dari air. Cakalang. Bener-bener cakalang yang kemaren aku liat di Sofifi. Huuuuiiiiih... aduuuh penyakit anak gunung yang liat laut ya begini neh.

Melewati dua pulau kecil... aku bertanya pada E, apa nama pulaunya. Pulau dua katanya. Trus... di mana pulau Dodola itu? Masih belum keliatan katanya tersenyum. Mungkin dalam hati dia mikir, nih orang bertiga, udah tiap liat ikan teriak-teriak... liat burung ribut... apalagi liat karang... bawaannya pengen nyebur semua. Mungkin dia mikir kita orang aneh. Ga heran.

Melewati pulau dua... rasanya lautan itu dengan sengaja ditaburi karang-karang yang berwarna-warni. Terumbu karang. Karena katinting melaju, kami tidak bisa melihat ikan, tetapi bisa dipastikan karangnya cantik. Aku melihat Agi dengan mupeng pengen langsung nyebur. Pulau berikutnya yang kami lewati... cantik luar biasa. Kapal-kapal kecil yang dipantai dicat putih contras dengan pepohonan hijau. Itu pulau Koloray... kata E. Hmmm... aku ga akan lupa, seperti kudoray. Tadinya aku berharap itu pulau Dodola. Soalnya cantik sih.

E kemudian menunjuk pulau Dodola di sebelahnya. Wah... not bad pikirku. Gi... ada pulau di sampingnya, kayanya ga terlalu jauh. Besok kita bisa berenang dari Dodola ke pulau itu kataku. Itu namanya Dodola Besar, kata E lagi. Oh ok. Namun ketika katinting mendekati pulau itu... aku bisa melihat pasir putih yang menghubungkan kedua pulau. Gubrak!! Tidak perlu berenang. Jalan ajah. Sekeliling pulau terhampar pasir putih... penghubung kedua pulau, juga pasir putih. Bisa kupastikan kalo pasang naik, kedua pulau akan terpisah... still masih bisa jalan kaki. We-e-e-e... pulau Dodola emang cantik.

Kapal merapat ke pantai. Kami masuk dan melihat pondok di dalamnya. Ada tiga pondok, dua tempat istirahat dan menjemur jaring ikan, pondok di belakang untuk tempat makan. Ehem... kenapa aku merasa bakal betah di sini ya... hehehe. Begitu meletakkan barang-barang dan istirahat, kami langsung berganti pakaian dan berenaaaaaang... huehehehe... Akhirnya tercapai keinginan berjalan menyusuri pantai dari Dodola kecil ke Dodola besar. Aku tidak sanggup menahan teriakanku setiap kali aku melihat ikan di laut.

Rasanya kami berenang selama berjam-jam, tapi masih saja belum puas. Berenangnya sih ga cape... jalan dari dodola besar ke kecil bolak balik itu yang bikin cape. Menjelang sore, kami kembali ke pondok. Si Mas sudah menyiapkan air di ember untuk kami mandi. Dia harus mengambil air tawar di dodola besar, jauh dari pondok, dengan menggunakan katinting. Aku dan Agi berhasil mandi seember berdua, keramas dan mencuci pakaian renang. Boleh ga percaya, tapi kami punya teknik menghemat air yang bahkan shower pun tidak sanggup mengimbanginya.

Menikmati senja di katinting dan sampan kecil di samping pondok. Buku Eat Pray Love-nya Liz Gilbert kok terasa pas dalam suasana begini. Sekali-kali aku memainkan kakiku di pasir yang putih dan lembut. Rasanya tenaaaaang banget. Eh lupa bilang, di pulau ini, cuma ada kami dan 3 orang yang tinggal di pondok. Tidak ada orang lain. Koloray, desa terdekat berpenduduk cukup banyak, sekitar 100-an orang katanya. Aku mencoba mengingat-ingat, apa yang hilang dari tempat ini ya? Oh iya... ga ada deru motor yang ngebut-ngebut di tengah jalan, ga ada teriakan-terikan nonton bola di pangkalan ojek dan ga ada suara-suara lagu India dari tetangga kosku. Suatu kehilangan yang membahagiakan.

2 comments:

Ayunda said...

Hehehe. Seru banget kayaknya, apalagi banyak fotonya. Bagus banget...

Admin said...

Hy mba esa,
Salam kenak..kami dari Admin website pemkab Pulau Morotai (www.PulauMorotaiKab.go.id.
Kami mohon ijin memuat artikel mba tentang Dodola, Kulit Terbakar dan Ubur-ubur, Morotai dan Dodola, Serial Liburan - Menuju Morotai.
Sumber artikel tetap kami cantumkan.
Untuk melihat artikel mba bsa dilihat di http://www.pulaumorotaikab.go.id/artikel.
Demikian mba esa, Terimakasih.