Saturday, September 21, 2019

Uganda: Sipi Waterfall dan Mencoba Gaya Rambut Baru (Part-2)

Menurut saya, salah satu keuntungan bekerja di NGO selain kesempatan berkunjung ke tempat baru, juga berkesempatan berkunjung ke tempat-tempat yang bukan tourist mainstreaming area. Misalnya, saat ke Jogja, saya tidak hanya berkunjung ke Maliobor, tetapi masuk sampe ke Bantul, makan sambel welut (yang saat itu belum sampe terkenal ke mana-mana), atau ke Wedi Ombo. Atau saat di Ternate, saya tidak hanya berkunjung ke benteng di sana, tapi menikmati hidup di pondok nelayan di Dodola, yang beberapa tahun kemudian jadi tempat yang sangat terkenal.

Hal yang sama  saya alami di Uganda. Saya tidak hanya berkunjung ke Sipi Fall, tapi juga ke desa. Bertemu dengan masyarakat dan tentu saja, ngopi ala masyarakat desa, makan hidangan khas mereka, termasuk kehujanan dan menggunakan daun pisang sebagai payung.


Anak-anak yang sedang mengagumi gorrila biru yang ada di tas. Sayangnya, aku tidak punya cukup tabungan untuk ikut safari melihat Gorilla.

Ada banyak cara untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat, termasuk dengan anak-anak. Saya ingat, dulu, waktu kawat gigi saya belum dicabut, saya bisa menggunakan kawat gigi sebagai penarik awal berinteraksi dengan anak-anak. Kali ini, anak-anak tertarik dengan bonek gorilla yang ada di tas saya.

Wefie dong kita!! Saya selalu suka senyum mereka seperti layaknya senyum anak-anak lain di seluruh dunia

Sore-sore, hujan-hujan, habis diskusi kita duduk dan menikmati kopi yang disajikan nyonya rumah

Berbagi cerita dengan mereka, sangat memperkaya saya. Mereka mirip dengan saya dan budaya saya: bagaimana perempuan dan pemuda sebagai pekerja dalam keluarga, sedikit sekali dalam pengambilan keputusan. Di satu sisi, kadang saya senang karena fesbuk saya kunci, bahwa mereka yang berada dalam level kedua pertemanan yang bisa merequest pertemanan dengan saya. Kalau tidak, mungkin fesbuk saya dipenuhi request dari orang-orang yang hanya berpapasan dengan saya di desa atau di hotel. Saya juga bertemu dengan perempua-perempuan hebat: mereka yang menjadi leader di koperasi, menjadi cupper bahkan mereka yang menjadi evaluator!

Permainan yang mirip congklak di Indonesia
Habis diskusi dengan anggota koperasi, keluar ruangan, saya melihat dua orang laki-laki yang sedang bermain sejenis permainan seperti congklak di Indonesia. Saya melihat mereka bermain sampai 10 menit, tetapi tidak mengerti dnegan pengaturannya. Berbeda dengan congklak yang memiliki dua baris lubang masing-masing 7 lubang, yang ini memilik 4 baris lubang, tanpa kepala atau lumbung. Saya pulang dengan penasaran, karena teman-teman dari Kenya bahkan tidak tahu bagaimana memainkannya. Namanya rejeki anak soleha ya, ketika di Kampala, saya menemukan congklak itu dan pemilik toko dengan berbaik hati mengajarkannya kepada saya cara permainannya. Jadilah papan mainan itu saya bawa pulang, buat bermain bersama Sam dan Joy.

Sejak pertama saya menginjakkan kaki di Uganda, saya pengen sekali mengepang rambut saya ala perempuan Afrika. Tanya sana sini harganya kalau tidak salah kalau dirupiahkan sekitar 300-400ribu. Ngebet banget ya saya, menjelang pulang ke Indonesia (karena baru sempatnya itu) saya mampir di salon yang sudah dibuatkan janji oleh rekan saya. Mereka sih bilang sejam ya, ternyata udah 15 menit kok ga masih jauh dari jadi ya dan si mbak pun memanggil dua lagi temannya untuk membantu.
Pengen seperti mbak yang sedang mengepang rambut saya
Gimana hasilnya? Gimana hasilnya?

Mari kita rewind dulu... wiiiiit. Waktu di hotel di Kampala, resepsionisnya yang rambutnya dikepang bilang begini: I really like your hair. Lalu saya bilang: I like yours. Mukanya langsung kaget dan bilang: really? Saya bilang, saya serius, saya bahkan akan pergi ke salon besok pagi sebelum ke bandara untuk mengepang rambut saya seperti dia.

Bagaimana hasilnya? Bagaimana hasilnya?

Jadi begini ya: setelah dikepang, saya merasa sangat tidak percaya diri. Pertama karena jidat saya kelihatan nongnong banget. Kedua, agaknya memang kepangan model begitu tidak diperuntukkan buat mereka yang berambut lurus. Prinsipnya sebenarnya menambahkan rambut palsu yang kemudian dikepang dengan model sesuai permintaan. karena rambut saya lurus, jadinya orang bisa melihat rambut keluar dari kepangan, tidak mengikuti alur kepangan. Ketiga yang paling serius: Sam ngakak guling-guling, literally guling-guling waktu saya video call dengannya. Dan suami saya! Keempat, perjalanan dari Kampala menuju Dubai lalu KL rasanya sangat menyiksa. Karena kepala berdenyut-denyut (kata mbaknya saya perlu kompres) dan karena saat saya bersandar di kursi, rasanya seperti ada yang mengganjal.

Bagaimana hasilnya? Bagaimana hasilnya?

Kepangan rambut ala Afrika berakhir saat transit di KL. Saya tiba sore dan akan melanjutkan penerbangan paginya ke Medan. Maka saya menghabiskan malam saya di hotel dengan membuka satu persatu kepangan ini. Lama membuka satu jam lebih cepat dari waktu membuat. Saya butuh satu jam lebih untuk membuka semua kepangan yang ada.
Ini satu-satunya foto yang berani saya tampilkan, karena sungguh, yang sebelum mulai dibuka terlihat sangat tidak cocok untuk muka saya

Anak dan suami saya kecewa saya membuka kepangan di KL. Ayah kan pengen ketemu sama perempuan Afrika, katanya sambil ngakak. Yang kubalas dengan cemberut lalu ngakak. Oh well, kadang kearifan lokal memang diperuntukkan untuk orang lokal. Setidaknya saya mencoba, iya kan? bukankah itu bagian dari pengalaman dalam perjalanan?


Wednesday, September 18, 2019

Uganda: Sipi Waterfall dan Mencoba Gaya Rambut Baru (Part-1)

Oh My God1 Where have I been? Blog ini kubiarkan nganggur sampe selama itu? Tulisan terakhir 2014? Eh buset, ketahuan malesnya ya. Nulis blog kaga, nulis thesis juga engga hahaha.

Okeh, semangat mau mulai nulis lagi. Sejak 2014 sampe sekarang mau nulis tentang apa dulu? Kayanya mau mulai nulis tentang Afrika ya. Kaya lagunya Shakira waktu piala dunia yang sebelumnya, sebelumnya dan sebelumnya lagi.


Tsamina mina zangalewa
'Cause this is Africa
Tsamina mina eh eh
Waka waka eh eh
Dulu, kalau ada yang nanya sama aku bucklet list untuk negara, maka aku akan jawab salah satunya adalah Afrika. Oh yes, I know, Africa is not a country, what I mean is I want to visit any country in Africa. Jadi saat pak boss menawarkan ke Afrika untuk (again) belajar tentang value chain kopi di sana, rasanya ingin kupeluk dia dengan bahagia!
Uganda menjadi tujuan perjalananku saat itu. Sempat ada tawaran sekaligus berkunjung ke Kenya. Entah kenapa waktu itu aku memutuskan untuk tidak bergabung karena durasi perjalananya yang bisa dua minggu. Dan selalu percaya, kalau merasa belum selesai dengan satu tempat, pastinya akan kembali suatu waktu nanti (amiiin!).
Dari bandara di Kampala, aku langsung dijemput dan dibawa ke Mbale, kota lain yang jaraknya sekitar 3 jam dari Kampala. Mampir buat makan siang di restoran, aku membeli kentang goreng dan ayam. Kesan pertama: eh buset, porsinya besar amat ya! Perjalanan menuju Mbale was not bad at all, in fact, I really enjoy it (jawaban klise kalau ditanya: how was your trip? hahaha). Tapi benar kok, aku menikmati karena memang itu pengalaman baru: rumah-rumah penduduk, pasar, pertokoan bahkan landscapenya. 


Satu pemandangan umum dalam perjalanan, rumah penduduk

Rumah tradisional, yang katanya jadi lumbung juga dan rumah saat ini
Sejauh mata memandang, entah kenapa, aku tidak merasa aku di Afrika. Well, kecuali saat melihat orang di kiri kananku yang berperawakan besar, kadang berambut keriting atau plontos. Ngomong-ngomog soal rambut, aku langsung memutuskan untuk mencoba model rambut itu. Balik ke merasa tidak di Afrika, karena suasananya, mirip kaya di Indonesia: kendaraan, cuaca panas yang lembab, pasar yang rame dan tidak teratur dan buah-buahan yang dijajakan di pinggir jalan. Oh, plus pedagang pinggir jalan itu, akan mengerubuti mobil yang berhenti yang ingin membeli. Sangat Indonesia, ya.
Hotel di Mbale cukup jauh di atas ekspektasi saya. Keren. Sebelum berangkat, saya dibriefing kantor untuk membawa kelambu karena benua ini terkenal dengan endemik malarianya. Ternyata di kamar hotel sudah disediakan kelambu. Juga di hotel di Kampala.
Kelambu di Mbale

Kamar Hotel di Kampala



Semacam gazebo di belakang hotel, biasanya saya dan teman saya bekerja di ruangan ini sambil menikmati minuman hangan atau dingin tergantung cuaca

Suasana belakang hotel di Mbale yang nyaman banget. Makan siang biasanya diadakan di halaman belakang, serasa pesta kebun
Teman saya sudah mengatur perjalanan untuk mengunjungi tempat wisata terdekat, Sipi waterfall. Kayanya ini perjalanan mengunjungi air terjun yang ternyaman yang pernah saya alami. Bayangkan, lokasinya hanya berjalan 5 menit dari parkiran hahahaha. Jadi, saya tidak perlu menuliskan: perjalanan panjang itu terbayarkan dengan pemandangan yang luar biasa hahahaha. Asli basah begitu dekat air terjunnya. Dan percikan-percikan air itu membuat pelangi serasa sangat dekat, nyaris bisa disentuh. Well, bisa disentuh sebenarnya.
The wonderful Sipi Fall


Cukup tentang hotel dan tempat wisata (yang tidak banyak aku kunjungi). Mari bicara sedikit tentang makanan yang ada. Karena, kalau bicara jalan-jalan, ga lengkap kalau tidak cerita makanan yang biasa ada di sana kan ya? Matoke adalah makan pokok di sana, sejenis pisang yang direbus lalu dihaluskan. Rasanya? Ya kaya pisang. Matoke disajikan dengan protein dan serat sayuran kadang dengan salad juga. Aku sih selalu mencari sesuatu yang baru ya, kadang mereka menyajikan nasi, yang tidak aku sentuh, karena pengen mencoba makanan baru. Apakah aku menyukai matoke? Oh well, kalau disuruh memilih mash potato dan mash banana ini, kayanya aku akan memilih mash potato, if you know what I mean.


Makan siang pertamaku di Mbale: Matoke dengan ayam bakar dan kari sapi dengan sayuran dan salad

Sewaktu berkunjung ke desa, di pasar desa (semacam pekan kalau di pasar Sumatra), ada pemandangan yang menarik, aku menemukan samosa dan chapati! Aku sampai takjub dan bertanya: really chapati dan samosa? Mereka bilang, mereka dapat banyak pengaruh India di sini. Bahkan di Kenya (kata teman yang dari Kenya - yang saya sempat diomel-omelin karena ga mampir sana) lebih banyak lagi keturunan India yang sudah tinggal di Kenya dari generasi ke generasi.




Okeh, akan dilanjutkan nanti dengan perjalanan ke desa dan gaya rambut baru saya.

Tuesday, March 25, 2014

Takengon: the famous (and mysterious) Gayo Coffee

Pertama kali ke Takengon itu dua tahun lalu. Kesan pertama? Ya ampuuun jauh banget yak! Karena ga ada pesawat dari Medan, jadilah kami naik mobil ke sana. Ga tanggung-tanggung 12 jam lebih! Kali berikutnya, jadi mulai terbiasa, setelah itu, jadi lebih tau banyak trik-trik apa yang harus dilakukan biar ga bosan di jalan hahaha.

Perjalanan biasanya diawali dari Medan jam 5 ke7 pagi, tergantung janjian dari kantor jam berapa. Kalo berangkat jam 7, bisa makan siang di Langsa. Biasanya kita nyampe Langsa jam 12-an. Di sana ada ayam tangkap yang enak, tepat di seberang masjid Langsa. Selanjutnya menuju Lhokseumawe, kadang kita berhenti untuk istirahat ngopi atau sekedar meluruskan kaki. Dari Lhokseumawe ini yang perjuangan banget. Masih ada 4 jam perjalanan tanpa ada sesuatu untuk disinggahi. Ga ada warung kopi asik, ada ada tepi sungai, bahkan, kalo udah lewat Juli, ga ada toilet untuk pipis! Jadi, pom bensin terakhir lewat Lhokseumawe selesaikanlah segala utang piutang, kalo ga, there is no such gas station anymore, grass station mah banyak hahahaha.

Oh, ada lagi yang menarik di dalam perjalanan: durian sodara-sodara! Hahahaha, kalo lagi musim, kita bisa liat dia bergelantung manja di poonnya. Serius, buanyak. Nah, kalo lagi musim, pondok-pondok durian bisa dijadikan altenatif membunuh kebosanan dalam perjalanan. Aku sih biasanya menolak ya, karena malah bikin ga nyaman perjalanan. Bayangin aja kita burping sepanjang jalan, mobil ac aroma durian hahaha.

Perjalanan pulang biasanya lebih asik. Selain karena yaaaa, namanya juga pulang, juga karena banyak tempat yang bisa disinggahi buat beli oleh2 hahaha. tapi ya sekali lagi itu semua setelah masuk Lhokseumawe ya. Bisa singgah beli Nagasari. Percaya atau engga, ini oleh-oleh wajib buat kantor. Lalu ada semua kripik dan pisang sale. Trus mampir di Langsa cuma buat makan sate dan martabak, percaya atau tidak lagi, satu orang bisa menghabiskan dua porsi sate dan satu porsi martabak.

Cerita tentang Takengon, Aceh Tengah dan Bener Meriah, tetangganya bisa dilihat banyak di web. Kedua kabupaten ini adalah penghasil kopi Gayo terbanyak, menyusul kabupaten Gayo Lues. Kopi Gayo adalah satu satu specialty coffee dari Indonesia yang terkenal luas di dunia. Pertama kali ke Gayo, aku cuma minum kopi karena emang suka kopi. Kali berikutnya, mulai penasaran kenapa kopi dari Gayo ini sangat terkenal ya? Kali berikutnya, mau ga mau karena berkecimpung di proyek kopi, jadi belajar banyak tentang kopi dong ya. Setelah beberapa kali minum kopi Gayo, akhirnya terjadi pergeseran selera, kopi-krimer-gula menjadi kopi-gula saja. Di beberapa tempat (yang kopinya menurutku uenaaaak) aku bahkan serasa menjadi peminum kopi betulan, hanya kopi saja. Tok!

Apa yang menarik tentang Takengon? Duingiiin. Berada di ketinggian 1000dpl, banyak orang menyebutkan Takengon sebagai negeri di awan hahahaha, agak lebay sih sebenarnya, tapi mengingat kabut dan dingin, masuk akal juga kalo disebut begitu ya.

Kayanya kota ini termasuk kota yang secara significant berkembang. Bisa dilihat dari restoran dan hotelnya hehehe. Tahun 2011, hanya ada tiga hotel yang cukup representative dan cuma ada dua restoran, yang satu lebih sering tutup daripada buka. Yaaaa, ada sih restoran lain, padang, aceh dan yang biasa kita temui di kota-kota di Indonesia pada umumnya. Maksudku restoran yang kita, para pendatang cukup familiar dengan rasanya. Jadi dulu, kalo harus travel seminggu ke sana, yang ada mati gaya urusan makan. Sekarang, lumayan. Selain masakan jawa kaya penyetan yang enak, ada restoran dengan pizza (meski harus pesan sehari sebelumnya kalo mau pizza), sate dan soto, jadi Takengon sekarang jauh lebih menyenangkaaaaan (pujian dari orang yang suka makan hahaha).

Sekarang, setelah hampir dua tahun berkecimpung di proyek yang berurusan dengan kopi, aku masih saja belum mengerti bagaimana mereka melakukan cupping. Cupping itu semacam uji kopi. Mereka akan meroasting dan menyeduh kopi di mangkuk2, lalu kita melakukan cupping. Ooooh, they don't even speak English! Apa sih artinya: earthly taste, have some watermelon taste, smoky dll itu? Please, are you guys talk in English? If yes, why I don't understand what that suppose to mean? Nyeraaaah, nyerah. Makanya kemaren aku ngerayu boss buat ikut pelatihan! Boss please dong...



Monday, March 24, 2014

Medan, when love and hate collide

Tanyakan aku tentang Medan, ketika pertama kali aku tinggal di sini, maka aku akan menjawab: benci tingkat dewa!Tanyakan aku sekarang tentang Medan, maka aku akan menjawab: I can manage. Jadi ingat lagu, when love and hate collide...

Pindah dari Jogja ke Ternate lalu ke Medan membuat jantungku berpacu tiap pagi. Betapa tidak, lalu lintas yang semrawut seakan menjadi ciri khas, tiada duanya tak pernah mati di Medan. Traffic light ga ada gunanya, karena semua berarti 'jalan', hijau berarti jalan, kuning, siap-siap berhenti (artinya tetap jalan), merah juga dipandang sebagai jalan. Jadiiii... memacu jantung setiap pagi menjelang kantor jadi santapan harianku.

Klakson, oh ini cuma saingan sama India hahaha. Kalo di India, setiap truk ada tulisannya: blow horn, atau horn, please. Artinya, silakan klakson, terutama kalo mau mendahului. Kalo di Medan? Hahahaha, klakson aja trus choooi. Lampu merah berubah hijau, udah deh tuh, semua pada klakson. Plis d, kaya orang yang di depan sana kaga liat hijau atau kaya ga mau jalan aja. Driver kantor paling sering aku omelin (makan hati kali dia kalo jalan sama aku): apa sih gunanya klakson2 kalo lagi lampu merah ke hijau? Emang semua kendaraan di depan langsung terbang apa? *ngomel* Belum lagi kalo udah macet, ya ampuuun, siap-siap d telinga penuh. Klakson di mana-mana? Oh goood, ngaruh ya kalo klakson? Bener-bener ga masuk akal.

Aku menulis blog ini setelah tinggal 5 tahun di Medan. Tadinya aku menulis 10 things I hate about Medan. Nah, setelah 5 tahun, ga nyampe ternyata 10 yak hahahaha. Sekarang apa yang aku sukai tentang Medan?

My families! Oh God, I don't know I should I do without them! Seriously! Terutama sejak aku punya anak. Keluargaku: mom, laws adalah orang-orang yang aku andalkan untuk menjaga anakku. Kalau aku keluar kota lama, dan anakku masih bayi: impor mama dari Siantar. Kalo tiba-tiba pengasuh ga ada: telp ipar yang dekat rumah untuk jaga anak. Ketika si sulung udah gede, aku harus ke luar kota, ajak pengasuh tinggal di rumah ditemani sepupuku. God, I'm so rich!

Food hahaha, lots lots lots of food. Mulai dari masakan karo, jawa, cina, melayu, padang, semua ada di sini. Satu-satunya yang aku kangeni hanyalah masakan Manado. Ada sih resto Manado di sini, tapi rasanya, serius d, mending aku yang masak hahaha.

Ada banyak lagi soalnya, tapi biar imbang jumlahnya dengan hates ya.

Thursday, April 02, 2009

Palembang, Gelap Info

Akhir tahun kemaren, Abangku mengundangku datang ke Palembang. Dengan semangat empat lima, tentu saja aku mau, aku belum pernah ke sana sebelumnya. Lagipula, akhir kontrakmemang kurencanakan untuk jalan-jalan. Aku sudah membayangkan akan banyak tempat unik yang dapat kukunjungi di sana. Palembang kan bekas ibukota kerajaan Sriwijaya. Bakal seru!!

Tak dinyana tak diduga, yang mengundang ternyata sama sekali ga punya info apapun tentang Palembang. Gubrak!! Salah satu kelemahan orang yang tinggal di satu kota ketika berstatus mahasiswa, kemungkinan besar mereka tidak tahu apapun tentang kota itu. Mahasiswa gitu, biasanya dananya terbatas untuk jalan-jalan. Aku mencoba menjembatani krisis informasi itu dengan bertanya ke Mas Google. Lha, Mas Google juga ga ngatri. Aku bertanya ke Om Jalansutra... sama juga minusnya. Ke Bibi Wiki... halah... juga ikut-ikutan.

Pait, pait, pait. Cuma ada info jembatan Ampera yang terkenal itu. That's it.

Akhirnya setelah puas bengong di tepi sungai Musi yang terkenal itu, kami pun pergi nonton. Aku sampe lupa, apa nama mall tempat kami mau nonton, yang pasti semua film Indonesia. Ohmigot. SEMUA. Wisatawan domestik kita yang satu inipun kembali kecewa.
Anyway... tidak semua mengecewakan, karena di Palembang, gudangnya makanan enak. Pempek, tentu saja. 


Mulai dari Pempek Pak Raden, Pempek bakar, pempek noni sampe pempek yang di mall aku coba. Semuanya ennnyyyaaaak. Favoritku, pempek Nonie. Thanks to Mas Say. 
Oh iya, di Jalansutra, mereka cerita tentang Mie Celor. Abangku tersayang ini, ga tau tempat yang disuggest di JS. Dan aku terlalu males untuk bertanya. Jadi kami makan mie cel
or apa aja yang ada di pinggir jalan waktu itu. Eh?! Kok enaaaak?? Gimana dengan mie celor favorit orang-orang Palembang yang ditulis di JS?

Mie celor itu mirip-mirip lo mie sebenarnya, hanya ada aroma udang dan sarat dengan bumbu oriental. Halah... pendeskripsianku yang nyontek JS sudah gagal. Intinya, mie celor itu enak. Titik.

Mie kedua, hmmmm... kwetiaw babi yang ada di dekat-dekat hotel. 

Mirip-mirip kwetiaw yang ada di Penang, berwarna coklat tua, juicy tapi tetap gurih. Biar dikata mie goreng, tapi dia rada nyemek tanpa terlihat minyak bekas menumis. Tiga hari di Palembang, aku dua kali makan di tempat ini.

Aku berencana mengunjungi Palembang lagi, lebih tepatnya Sumatera Selatan. Karena memang di kota Palembang tidak ada tempat menarik. Tapi di provinsi itu ada banyak situs-situs sejarah peninggalan Sriwijaya.
Ada yang berminat ikut?

Friday, October 10, 2008

Dodola, Kulit Terbakar dan Ubur-ubur

Selama empat hari tinggal di Dodola, bangun pagi yang pertama kami lakukan adalah langsung mengenakan pakaian renang, mengoleskan sunblock dan berjalan ke pantai. Kadang angin terlalu kencang dan terasa dingin, makan sarung pantai yang tadinya untuk gaya-gayaan sekarang untuk menutupi leher, biar ga batuk kata mama (halah!).

Meski sudah beberapa bulan tinggal di Maluku Utara, sering melihat ikan, masih aja aku berteriak setiap kali masuk ke air dan bertemu ikan. Ada banyak ikan yang serasa menemani kami berenang dan semuanya ada di buku Agi tentang ikan-ikan karang di lautan tropis. Jadi, setiap kali habis berenang, kami selalu memelototi bukunya dan sibuk menunjuk ikan yang mana saja yang ditemui. Mulai dari ikan kue, ikan strip-strip hitam kuning (ga ingat namanya) sampe lion fish. Pagi hari ketiga, aku bahkan menemukan bangkai anak penyu hijau di pantai. Sedih melihatnya. Sorenya kami bertanya ke Om Jony dan dia bilang, beberapa waktu yang lalu penyu sering bertelu di tempat itu. Dan banyak masyarakat sekitar datang lalu mengambil telurnya.

Bicara pelestarian hewan-hewan cantik dan terancam punah itu di sana membuat aku rada nyesek. Sambil memandang bintang yang sangat banyak dan sangat terang (mungkin karena tidak ada lampu di pondok) kami masih mendiskusikan penyu, kepiting kenari dan ikan pari. Rasanya mendiskusikan hewan-hewan yang terancam punah sangat kontras dengan manisnya malam. Apalagi ketika kami disuguhi ikan bakar yang manis dan nikmat. Seger dengan dabu-dabu. Sayur yang langka di pulau ini tiba-tiba ada di meja makan karena Om Jony baru belanja di Morotai. Sambil makan, aku jadi ingat, siang tadi beberapa kali kami mendengar bunyi bom. Ya, benar banyak nelayan masih menggunakan bom untuk menangkap ikan. Mudah-mudahan ikan yang sedang aku kunyah tidak ditangkap dengan bom. Tidak heran kalo selama berenang, disamping ikan yang cantik, kami juga masih melihat sisa-sisa karang bekas bom. Aku ingat beberapa bulan lalu waktu ke Pulau Maitara, semua karang sudah tidak tersisa. padahal kata Agi kunjungannya tahun lalu, karang dan ikannya masih banyak. Habis karena bom tentu saja. Indonesiaku... kapan alam indahnya bisa dipelihara?

Beberapa kecelakaan tetap saja terjadi. Dihari kedua, kulitku rasanya panas sekali. Meski sudah mengoleskan sun block sebelum keluar rumah ditambah mengoleskan krim lidah buayanya Agi setelah mandi sore, tetap saja panas sampai hari berikutnya. Terbakar... terkelupas dan belang di sana sini. Uuuh... hitam aja ga jadi masalah, secara temanku pernah bilang aku lebih seksi dengan kulit gelap (ehem), tapi aku paling ga tahan liat kulit yang terkelupas. Hiks. Anyway... kulit yang terkelupas sama sekali tidak mengurangi jatah mandi di laut. Teteuuuup.

Mas Imam berbaik hati mengantar kami ke pulau Koloray, pulau sebelah Dodola. Karang di sana... astaga... cantik!! Lautnya sangat-sangat dangkal, beberapa kali katiting menabrak karang. Akhirnya Mas Imam turun dan berjalan kaki sambil menuntun (? aku tidak menemukan kata yang tepat) katinting. Kami sibuk memandang ikan dan karang sambil membantu pak nelayan mencari kerang (yang nemu sudah pasti Agi).

Pengalaman terkena ubur-ubur baru pertama kali kualami. Tiba-tiba saja, ketika kami berenang di pulau dua (dua pulau sangat kecil yang berdekatan dalam perjalanan kembali ke Daruba-Morotai) aku merasa sengatan yang sangat banyak di sekitar tangan dan wajahku. Berkali-kali sampe berteriak panik. Lebih karena panik dan takut, akhirnya aku berenang ke tepi. Di darat, Agi langsung konfirmasi kalo tadi memang ubur-ubur. Banyak sekali. Huuuaaa... Setelah sakitnya agak berkurang, kembali berenang lagi yuuuuk.

Pertualangan berikutnya sama menariknya. Kami benar-benar bertemu ikan pari kecil di Pulau Dua. Seperti anak kecil kami lari-lari ke Om Jony... Oooom... tadi kita ngeliat ikan pari. Oh ya? katanya tenang, kok ga ditangkap? dia ngeledek. Yeeee...

Pertualangan manis akhirnya berakhir setelah empat hari di Dodola. Sehari setelah Lebaran Om Jony mengantar kami kembali ke Morotai. Hiks... kok sedih ya. Pertualangan ditutup manis dengan mampir ke Pulau Zum Zum, melihat gua McArthur lalu untuk pertama kali bertemu ular laut. Kyyyaaaa... aku langsung membatalkan niat berenang di pulau itu. No way!!

Panas matahari menemani kami mengitari pulau-pulau di sekitar dalam perjalanan pulang. Melewati Pulau Dua... mesin mati!! Selamat... sekeras apapun Om Jony mencoba tetap tidak bisa. Maka... MARI KITA MENDAYUNG sodara-sodara. Empat kilometer!! Tentu saja Om Jony yang mendayung lebih banyak, kita mah sibuk mendayung (pake fin wekekeke) sambil tetap sibuk memandang karang, ikan dan ubur2 yang berseliweran kaya konvoi. Such a nice trip. Seperti kata McArthur: I shall be back!!

Tuesday, October 07, 2008

Morotai dan Dodola

Yep! Bangun pagi setelah membeli perlengkapan perjalanan ke Dodola, Om Jony datang menjemput. Oh iya, aku kenalkan dulu ya si bapak satu ini. Dia Belanda-Ambon yang punya usaha di pembiakan rumput laut di Dodola. Kami akan tinggal di tempatnya semalam, karena harus kembali ke Tobelo untuk melihat upacara adat perkawinan. Om Jony meminta temannya menjemput kami di Daruba karena dia baru akan menyusul sorenya ke Dodola.

Kami naik katinting, perahu kecil dengan mesin sekitar 5PK dan paling banyak sanggup menampung 5 orang. Katinting di sini cukup aman, karena mempunya semacam 'sayap', bambu yang diikat di kiri dan kanan perahu untuk menjamin keseimbangannya. "Tolong bantu E untuk mengeluarkan air dari katinting ya Mbak," pesan beliau sebelum kami meninggalkan dermaga Daruba. Kadang-kadang, air masuk ke katinting, untuk mengurangi beban (dan biar ga karam), air harus diciduk keluar.

E mulai mengarahkan katinting ke arah barat. Beruntung aku duduk di depan, jadi aku bisa melihat bebas pulau-pulau yang kami lewati. Pulau pertama berpasir putih yang kami lewati, aku bisa melihat pantai yang tidak luas dan kapal tertambat di sana, selebihnya masih dipenuhi hutan bakau. Mudah-mudahan bukan Dodola, bisikku dalam hati. Ga seru aja berenang dekat hutan bakau. Aku sering membayangkan ular di sana. Kapal melewati pulau itu, syukurlah. Di tengah perjalanan banyak burung-burung yang terbang lalu hinggap di kayu-kayu yang mengapung. Kemudian kami mulai melihat lagi... lebih banyak burung, kali ini terbang rendah di laut dan sibuk mematuk sana sini. Pasti ada ikan, kata Agi. Pelan-pelan katinting menuju ke arah burung-burung itu. Benar saja. Cakalang!! Lompat-lompat keluar dari air. Cakalang. Bener-bener cakalang yang kemaren aku liat di Sofifi. Huuuuiiiiih... aduuuh penyakit anak gunung yang liat laut ya begini neh.

Melewati dua pulau kecil... aku bertanya pada E, apa nama pulaunya. Pulau dua katanya. Trus... di mana pulau Dodola itu? Masih belum keliatan katanya tersenyum. Mungkin dalam hati dia mikir, nih orang bertiga, udah tiap liat ikan teriak-teriak... liat burung ribut... apalagi liat karang... bawaannya pengen nyebur semua. Mungkin dia mikir kita orang aneh. Ga heran.

Melewati pulau dua... rasanya lautan itu dengan sengaja ditaburi karang-karang yang berwarna-warni. Terumbu karang. Karena katinting melaju, kami tidak bisa melihat ikan, tetapi bisa dipastikan karangnya cantik. Aku melihat Agi dengan mupeng pengen langsung nyebur. Pulau berikutnya yang kami lewati... cantik luar biasa. Kapal-kapal kecil yang dipantai dicat putih contras dengan pepohonan hijau. Itu pulau Koloray... kata E. Hmmm... aku ga akan lupa, seperti kudoray. Tadinya aku berharap itu pulau Dodola. Soalnya cantik sih.

E kemudian menunjuk pulau Dodola di sebelahnya. Wah... not bad pikirku. Gi... ada pulau di sampingnya, kayanya ga terlalu jauh. Besok kita bisa berenang dari Dodola ke pulau itu kataku. Itu namanya Dodola Besar, kata E lagi. Oh ok. Namun ketika katinting mendekati pulau itu... aku bisa melihat pasir putih yang menghubungkan kedua pulau. Gubrak!! Tidak perlu berenang. Jalan ajah. Sekeliling pulau terhampar pasir putih... penghubung kedua pulau, juga pasir putih. Bisa kupastikan kalo pasang naik, kedua pulau akan terpisah... still masih bisa jalan kaki. We-e-e-e... pulau Dodola emang cantik.

Kapal merapat ke pantai. Kami masuk dan melihat pondok di dalamnya. Ada tiga pondok, dua tempat istirahat dan menjemur jaring ikan, pondok di belakang untuk tempat makan. Ehem... kenapa aku merasa bakal betah di sini ya... hehehe. Begitu meletakkan barang-barang dan istirahat, kami langsung berganti pakaian dan berenaaaaaang... huehehehe... Akhirnya tercapai keinginan berjalan menyusuri pantai dari Dodola kecil ke Dodola besar. Aku tidak sanggup menahan teriakanku setiap kali aku melihat ikan di laut.

Rasanya kami berenang selama berjam-jam, tapi masih saja belum puas. Berenangnya sih ga cape... jalan dari dodola besar ke kecil bolak balik itu yang bikin cape. Menjelang sore, kami kembali ke pondok. Si Mas sudah menyiapkan air di ember untuk kami mandi. Dia harus mengambil air tawar di dodola besar, jauh dari pondok, dengan menggunakan katinting. Aku dan Agi berhasil mandi seember berdua, keramas dan mencuci pakaian renang. Boleh ga percaya, tapi kami punya teknik menghemat air yang bahkan shower pun tidak sanggup mengimbanginya.

Menikmati senja di katinting dan sampan kecil di samping pondok. Buku Eat Pray Love-nya Liz Gilbert kok terasa pas dalam suasana begini. Sekali-kali aku memainkan kakiku di pasir yang putih dan lembut. Rasanya tenaaaaang banget. Eh lupa bilang, di pulau ini, cuma ada kami dan 3 orang yang tinggal di pondok. Tidak ada orang lain. Koloray, desa terdekat berpenduduk cukup banyak, sekitar 100-an orang katanya. Aku mencoba mengingat-ingat, apa yang hilang dari tempat ini ya? Oh iya... ga ada deru motor yang ngebut-ngebut di tengah jalan, ga ada teriakan-terikan nonton bola di pangkalan ojek dan ga ada suara-suara lagu India dari tetangga kosku. Suatu kehilangan yang membahagiakan.

Monday, October 06, 2008

Serial Liburan - Menuju Morotai

Apa yang akan aku lakukan liburan lebaran ini di Maluku Utara? Pulang, jelas sangat mahal, lagipula November kontrak akan selesai, so masa pulang terus dalam waktu 2 bulan? Ke Manado? Icie sedang ada di Bogor, jadi tidak mungkin. Makasar? Uuuuh... ga d, masa nungguin Ime jaga di rumah sakit? So, ketika Agi bilang dia mau liburan di Morotai... langsung aku jawab: count me in, Gi!!

Mencari info tentang Morotai susahnya setengah mati. Cuma dapat sedikit. Plus, temen-teman kantor pada bilang 'ga bagus', 'sia-sia' dan semua kata-kata discouraging lainnya. Satu-satunya yang cukup netral cuma dari seorang teman yang menyebut dirinya putra kolano cico, dia bilang 'panas, tapi pulau-pulau di sekitarnya cantik' dia juga bilang 'banyak peninggalan PD II di sana' dia bahkan berbaik hati menggambar dan mencari info penginapan di sana. Thanks ya Pak!!

Berangkat pagi-pagi jam 6 menuju pelabuhan Kota Baru dengan ojek dari kos2an naik speed boat menuju Sofifi-Halmahera. "Yang lima puluh yang lima puluh, dua orang lagi berangkat," begitu kira-kira abang boatnya teriak di pagi yang sudah ada mataharinya hehe. Maka kami berdua langsung naik dan duduk manis dengan bagpack dan tentu saja: life jacket! (maaf harus mengikuti safety prosedure kantor... yeee).

Di tengah jalan, eh bukan di tengah laut, tiba-tiba, Nia temenku terkesiap, cukup kaget dan mengagetkan semua penumpang lain. Ada apa? tanyaku. Hmmm... ga yakin hiu atau lumba-lumba, katanya, sebelah sana. Aku melihat: itu ombaaaaak buuu. Jadi ingat pengalamanku beberapa bulan lalu di Sulamadaha, salah menerjemahkan si lumba-lumba dengan hiu. Kami memandang lama ke arah itu, astagaaa, bener aja. LUMBA-LUMBA sodara-sodara. Buanyak. Melompat riang berkali-kali seakan mengikuti boat kami. Edaaaaan... beberapa bulan tinggal di Ternate, memutari Sulamadaha dan pulau2 lain, aku tidak pernah bertemu mereka. Kali ini... mereka berkali-kali melompat. Well, that's a good sign for our vacation, kataku dalam hati.

Tiba di Sofifi, abang-abang pemilik kendaraan yang akan mengangkut kami ke Tobelo sudah menunggu dan dengan sigap mengangkut barang-barang kami ke mobilnya. Masalahnya, sama saja, karena kami tetap harus menunggu kendaraan penuh. Sambil menunggu aku sempat mengamati para pedagang di dekat pelabuhan. Ikan-ikan kecil sampe besar dipajang, aku yakin masih sangat segar. Seorang ibu sibuk memotong ikan tongkol yang buesar menjadi potongan-potongan kecil. Pasti pisaunya tajam sekali. Aku melihat ikan-ikan teri yang lumayan besar, lalu teringat dulu di Aceh, ibunya temanku pernah memasak ikan itu dengan digoreng tepung. Liurku menitik. Pasti enak. Akhirnya mobil berangkat juga ke Tobelo. Butuh waktu 4 jam di jalan, termasuk istirahat sebentar di Malifut. Seratus ribu kurang sepuluh ribu rasanya cukup masuk akal, karena kenyamanan dan keramahan bang supir. Kapal ke morotai akan berangkat sore nanti, kata Agi yang sudah tiba lebih dulu di Tobelo. Hmmm... kita bisa istirahat di rumah Tini. Tebak hidangan makan siang apa yang dihidangkannya? Di samping sup kepala ikan yang segar, dia juga menghidangkan ikan teri goreng tepung. Olala... impian jadi kenyataan. Tidur-tiduran bentar, sorenya Tini udah manggil lagi... dia nyonya rumah yang luar biasa. Minum teh sore, katanya. Tentu saja kami tak dapat menolah makan pisang mulut bebek dengan sambel, kacang... astaga... kenapa ga bisa berenti ngunyah siiiy?

Jam 6 sore kapal berangkat ke Morotai. Naluri staff Disaster Risk Reduction kita langsung bunyi pas liat Tsunami Early Warning System yang ada di pelabuhan... eh... ada TEWS kita menunjukkan dan mencoba mencari peralatan pengukur pasangnya. Menarik... menarik...

Dua kali kapal berhenti di tengah laut. Penasaran aku dan temenku melihat apa yang membuatnya berhenti. Ternyata... ada calon penumpang yang menyusul dengan speed. Jadi ingat bis kota hehehe. Jam sembilan malam, setelah mengalami mabok laut (ombak rada kencang, bau bensin dan juga panas mesin di sekitar tempat duduk) akhirnya kami tiba di Morotai. Om Jony, yang akan menemani perjalanan kami mengantarkan kami ke penginapan yang ehem... panas... banyak nyamuk dan juga kamar mandi rombongan. Well, it could be worst anyway... nikmati saja, bukankah si lumba-lumba udah mencerahkan pagi ini? So.. abis mandi dan makan malam di warung seafood dekat penginapan, kami tidur. Perjalanan seru ke Dodola akan di mulai besok. Get ready!!

Friday, September 26, 2008

Benteng Toloko - Ternate

Ada banyak benteng di Ternate, sisa-sisa kolonialis baik Portugis maupun Belanda. Salah satunya benteng Toloko atau benteng Tolukko. Dibangun tahun 1512 oleh Governor Jeneral Fransisco Serral dari Portugis. Tahun berdirinya benteng ini sendiri banyak referensi memberikan tahun yang berbeda, tapi kita pake data lonely planet aja ya, didirikan tahun 1512 dan direnovasi oleh Belanda tahun 1610.

Dari luar, sekilas benteng ini terlihat kecil, waktu pertama aku datang, Tolukko tidak seperti benteng yang selama ini aku liat di film atau seperti benteng yang didirikan prior Philip dan Richard dalam novelnya Ken Follet, The Pillar of the Earth. Apalagi, renovasi yang dilakukan baru-baru ini membuat si benteng kehilangan 'keangkuhan' dan 'kekuatannya'. Bagaimana tidak, dari luar, aku melihatnya seperti taman bunga. Lebih cenderung cantik, dibanding gagah. Tanaman-tanaman bunga dan jalan setapak yang disemen. Cantik banget d pokoknya. Di samping gerbang masuk benteng, ada ruangan kecil, tempat informasi benteng ditempelkan. Jangan berharap seperti di Jogja, di mana setiap kali kita mengunjungi tempat sejarah selalu ada guide yang 'membuai' kita dengan cerita dibalik tempat itu. Di sini, cukup baca informasi yang banyak, yang begitu keluar pintu dijamin lupa hehehe.

Kesan sangarnya baru keliahatan kalo kita udah masuk ke dalam. Banyak ruangan-ruangan yang kalo dipikir-pikir jadi mirip labirin, karena ada ruangan di balik ruangan, lorong di balik lorong. Masuk ke dalam benteng, kita akan bertemu lorong panjang, tangga yang tidak terlalu curam, tapi rada seram karena ga ada pembatas tangga, so kalo jatuh, ya langsung ke bawah. Aku mencoba membayangkan orang-orang dulu, bagaimana cara mereka lari ke sana ke mari dengan cepat tanpa harus terjatuh. Agak turun ke bawah, ada ruangan kecil, bahkan untukku, aku masih harus menunduk untuk masuk. Tempat apa ini? tanyaku. Mungkin tempat penyiksaan, kata temanku. Heeee??? Sejak kapan di benteng ada tempat penyiksaan? Bukannya harusnya itu tempat bertahan? Lagipula, kalau aku jadi prajurit, akan sangat sulit menyiksa orang di ruangan sekecil dan serendah itu. Ga masuk akal. Later, ketika aku kembali ke kantor, temanku bilang itu tempat penyimpanan senjata. Okay... it is much much reasonable.

Naik ke atas, aku dengan bebas bisa memandang pulau Tidore, puluhan rumah di seputaran Dufa-Dufa, swering dan tentu saja... Gamalama. Siang itu dia rada sombong, terlalu banyak kabut. Tapi, aku jadi mengerti kenapa benteng dibangun di sini. Kamu bisa melihat hampir sekeliling Ternate dan juga Tidore dari sini. Aku membayangkan Potugis dan Belanda bisa dengan cepat melihat bila ada serangan. Atau... aku bisa membayangkan seorang putri bisa cepat melihat ketika sang pangeran sudah kembali. Halah!! Norak!!

Anyway... terlepas dari bagian luar yang terlalu manis, duduk di tempat ini membuat kamu bisa melihat semuanya. Merasa sangat tinggi (hihihihi) dan juga sangat kecil... karena kamu bisa melihat banyak tempat tentu saja. Seandainya ada seseorang yang bisa bercerita banyak kisah-kisah menarik seputar benteng itu...

Friday, August 08, 2008

Tempat yang Ingin Kukunjungi Berdua

Ada beberapa tempat yang pernah aku kunjungi bersama teman-teman, yang kemudian ingin aku kunjungi bersama seseorang yang sangat aku sayang. Well, bukan berarti aku sudah menemukannya sekarang. Dulu kukira aku sudah menemukannya, ternyata, seperti kata orang, kadang-kadang kita emang salah menilai orang. Anyway... satu saat, aku pasti akan bertemu dengan dia. Meanwhile, aku mau menceritakan tempat yang pernah aku kunjungi dan yang kemudian aku ingin kunjungi lagi.

Menyusuri sungai yang aku lupa namanya di Bangkok. Dengan perahu yang kamu bisa makan malam di dalamnya, dan setelah itu kamu bisa duduk di bagian luar perahu, dan kalau cukup gila bisa melakukan adegan Titanic antara Jack and Kate (eh,.. siapa nama cewenya itu?). Aku melakukannya (naik perahu maksudku) bersama teman-teman beberapa minggu yang lalu. Menarik. Kamu bisa memandang bintang karena lampu tidak terlalu terang. Di kiri dan di kanan sungai, ada banyak bangunan yang pasti membuat kamu terkagum-kagum. Budha temple dengan gaya Thailand yang kental, bagunan hotel atau cafe yang cahayanya sangat kontra
s dengan kegelapan di tengah sungai. Sesaat aku lupa kalau mereka membangun di daerah aliran sungai. Mudah-mudahan luapan sungai tidak membuat banjir seperti di Jakarta.

Tempat kedua yang masih ingin aku kunjungi adalah... Wedi Ombo!! Menghabiskan malam dengan api unggun dan permainan yang menarik, selalu membuatku ingin ke sana lagi. Kali ini, tentu saja dengan seseorang, bukan dengan banyak orang hehehe. Di sini, karena sinar lampu dari kampung sekitar yang termaram membuatmu bisa melihat bintang di langit dengan jelas. Amat jelas. Termasuk menunggu datangnya bintang jatuh. Ditemani suara ombak, bikin suasana jadi terasa tenang dan sendu (halah!). Kalo berdua, aku pasti akan duduk dan memandangi langit, sambil makan ikan bakar (teteeeuuup ada makannya) pasti asik!

Tempat ketiga: Kedai Kopi di Gejayan, Jogja. Ga punya fotonya, liat aja blognya Tita.

Sementara sih masih itu...

Wednesday, April 02, 2008

Serial Jogja-Mbatik

Rasanya ada yang kurang kalau tinggal di Jogja lebih dari setahun tetapi aku tidak mencoba membatik. Apalagi banyak orang bukan Indonesia yang sekarang bisa membatik. Plus, aku ga suka kalo orang besok-besok bilang batik bukan dari Indonesia terbukti karena tidak ada orang Indonesia yang suka batik. Alasan lain, suka pake batik... kenapa ga coba bikin desain sendiri?

Maka berangkatlah kami ke tempat kursus batiknya temenku di Imogiri. Pak Guru yang baik hati itu, dipanggil temennya dengan ****cacing (4 huruf pertama aku hilangkan hehe). Membuat batik ternyata tidak semudah yang kami bayangkan. Padahal sebelumnya aku sudah tahu kalo bikin batik itu susah, pas dilakoni, ternyata lebih susah!! Dia menceritakan proses membuat batik dan mengijinkan kami melihat seorang ibu yang sedang membuat pola dengan malam.

Selanjutnya, kami diajari membuat pola yang kami inginkan terlebih dulu. Kebanyakan kami menggambar (atau menjiplak) bunga, atau motif batik standard lainnya, seperti kawung. Ibenk, temen kita malah membuat alien, katanya ini desain batik modern. Ga salah kok, kata gurunya.

Langkah berikutnya adalah menimpa pola yang sudah kami buat dengan malam atau lilin. Prinsipnya, malam akan mencegah serat kain dalam menyerap warna. Sehingga bagian yang diberi malam tidak akan berubaah warna meski nanti dicelup warna. Bagian ini luar biasa susah. Rasanya pengen nangis waktu melakukannya. Malam itu panas. Biar ga terlalu encer, kudu ditiup. Kalau sudah beku, dia ga akan mengalir, cantingnya akan tersumbat. Kalau memegang cantingnya terlalu ke bawah, malamnya bisa jatuh dan menodai kain yang tadi sudah diberi pola, sehingga membuat pola baru. Aku jadi mengerti mengapa batik tulis itu suka ga sama gambarnya, selain karena proses menggambar, juga karena kadang-kadang 'kecelakaan' jatuhnya malam akan mempengaruhi pola gambar. Nah, sebagai pemula, 'kecelakaan' malam yang kualami jauh lebih sering dari yang seharusnya.

Kelelahan dengan proses malam itu, kami membiarkan proses pewarnaannya pada ahlinya, sambil kami menikmati makan siang yang luar biasa pedas dan enak hehehe. Ternyata, hasil yang tadinya kami kira akan hancur-hancuran, lumayan juga. Ga bagus, tapi lumayan untuk pemula. Ini kembali memompa semangat kami untuk membuat desain sendiri. Membatik emang susah, tapi kalo serius, semua orang bisa melakukannya. Lihat saja hasil karya kami.