Saturday, September 21, 2019

Uganda: Sipi Waterfall dan Mencoba Gaya Rambut Baru (Part-2)

Menurut saya, salah satu keuntungan bekerja di NGO selain kesempatan berkunjung ke tempat baru, juga berkesempatan berkunjung ke tempat-tempat yang bukan tourist mainstreaming area. Misalnya, saat ke Jogja, saya tidak hanya berkunjung ke Maliobor, tetapi masuk sampe ke Bantul, makan sambel welut (yang saat itu belum sampe terkenal ke mana-mana), atau ke Wedi Ombo. Atau saat di Ternate, saya tidak hanya berkunjung ke benteng di sana, tapi menikmati hidup di pondok nelayan di Dodola, yang beberapa tahun kemudian jadi tempat yang sangat terkenal.

Hal yang sama  saya alami di Uganda. Saya tidak hanya berkunjung ke Sipi Fall, tapi juga ke desa. Bertemu dengan masyarakat dan tentu saja, ngopi ala masyarakat desa, makan hidangan khas mereka, termasuk kehujanan dan menggunakan daun pisang sebagai payung.


Anak-anak yang sedang mengagumi gorrila biru yang ada di tas. Sayangnya, aku tidak punya cukup tabungan untuk ikut safari melihat Gorilla.

Ada banyak cara untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat, termasuk dengan anak-anak. Saya ingat, dulu, waktu kawat gigi saya belum dicabut, saya bisa menggunakan kawat gigi sebagai penarik awal berinteraksi dengan anak-anak. Kali ini, anak-anak tertarik dengan bonek gorilla yang ada di tas saya.

Wefie dong kita!! Saya selalu suka senyum mereka seperti layaknya senyum anak-anak lain di seluruh dunia

Sore-sore, hujan-hujan, habis diskusi kita duduk dan menikmati kopi yang disajikan nyonya rumah

Berbagi cerita dengan mereka, sangat memperkaya saya. Mereka mirip dengan saya dan budaya saya: bagaimana perempuan dan pemuda sebagai pekerja dalam keluarga, sedikit sekali dalam pengambilan keputusan. Di satu sisi, kadang saya senang karena fesbuk saya kunci, bahwa mereka yang berada dalam level kedua pertemanan yang bisa merequest pertemanan dengan saya. Kalau tidak, mungkin fesbuk saya dipenuhi request dari orang-orang yang hanya berpapasan dengan saya di desa atau di hotel. Saya juga bertemu dengan perempua-perempuan hebat: mereka yang menjadi leader di koperasi, menjadi cupper bahkan mereka yang menjadi evaluator!

Permainan yang mirip congklak di Indonesia
Habis diskusi dengan anggota koperasi, keluar ruangan, saya melihat dua orang laki-laki yang sedang bermain sejenis permainan seperti congklak di Indonesia. Saya melihat mereka bermain sampai 10 menit, tetapi tidak mengerti dnegan pengaturannya. Berbeda dengan congklak yang memiliki dua baris lubang masing-masing 7 lubang, yang ini memilik 4 baris lubang, tanpa kepala atau lumbung. Saya pulang dengan penasaran, karena teman-teman dari Kenya bahkan tidak tahu bagaimana memainkannya. Namanya rejeki anak soleha ya, ketika di Kampala, saya menemukan congklak itu dan pemilik toko dengan berbaik hati mengajarkannya kepada saya cara permainannya. Jadilah papan mainan itu saya bawa pulang, buat bermain bersama Sam dan Joy.

Sejak pertama saya menginjakkan kaki di Uganda, saya pengen sekali mengepang rambut saya ala perempuan Afrika. Tanya sana sini harganya kalau tidak salah kalau dirupiahkan sekitar 300-400ribu. Ngebet banget ya saya, menjelang pulang ke Indonesia (karena baru sempatnya itu) saya mampir di salon yang sudah dibuatkan janji oleh rekan saya. Mereka sih bilang sejam ya, ternyata udah 15 menit kok ga masih jauh dari jadi ya dan si mbak pun memanggil dua lagi temannya untuk membantu.
Pengen seperti mbak yang sedang mengepang rambut saya
Gimana hasilnya? Gimana hasilnya?

Mari kita rewind dulu... wiiiiit. Waktu di hotel di Kampala, resepsionisnya yang rambutnya dikepang bilang begini: I really like your hair. Lalu saya bilang: I like yours. Mukanya langsung kaget dan bilang: really? Saya bilang, saya serius, saya bahkan akan pergi ke salon besok pagi sebelum ke bandara untuk mengepang rambut saya seperti dia.

Bagaimana hasilnya? Bagaimana hasilnya?

Jadi begini ya: setelah dikepang, saya merasa sangat tidak percaya diri. Pertama karena jidat saya kelihatan nongnong banget. Kedua, agaknya memang kepangan model begitu tidak diperuntukkan buat mereka yang berambut lurus. Prinsipnya sebenarnya menambahkan rambut palsu yang kemudian dikepang dengan model sesuai permintaan. karena rambut saya lurus, jadinya orang bisa melihat rambut keluar dari kepangan, tidak mengikuti alur kepangan. Ketiga yang paling serius: Sam ngakak guling-guling, literally guling-guling waktu saya video call dengannya. Dan suami saya! Keempat, perjalanan dari Kampala menuju Dubai lalu KL rasanya sangat menyiksa. Karena kepala berdenyut-denyut (kata mbaknya saya perlu kompres) dan karena saat saya bersandar di kursi, rasanya seperti ada yang mengganjal.

Bagaimana hasilnya? Bagaimana hasilnya?

Kepangan rambut ala Afrika berakhir saat transit di KL. Saya tiba sore dan akan melanjutkan penerbangan paginya ke Medan. Maka saya menghabiskan malam saya di hotel dengan membuka satu persatu kepangan ini. Lama membuka satu jam lebih cepat dari waktu membuat. Saya butuh satu jam lebih untuk membuka semua kepangan yang ada.
Ini satu-satunya foto yang berani saya tampilkan, karena sungguh, yang sebelum mulai dibuka terlihat sangat tidak cocok untuk muka saya

Anak dan suami saya kecewa saya membuka kepangan di KL. Ayah kan pengen ketemu sama perempuan Afrika, katanya sambil ngakak. Yang kubalas dengan cemberut lalu ngakak. Oh well, kadang kearifan lokal memang diperuntukkan untuk orang lokal. Setidaknya saya mencoba, iya kan? bukankah itu bagian dari pengalaman dalam perjalanan?


Wednesday, September 18, 2019

Uganda: Sipi Waterfall dan Mencoba Gaya Rambut Baru (Part-1)

Oh My God1 Where have I been? Blog ini kubiarkan nganggur sampe selama itu? Tulisan terakhir 2014? Eh buset, ketahuan malesnya ya. Nulis blog kaga, nulis thesis juga engga hahaha.

Okeh, semangat mau mulai nulis lagi. Sejak 2014 sampe sekarang mau nulis tentang apa dulu? Kayanya mau mulai nulis tentang Afrika ya. Kaya lagunya Shakira waktu piala dunia yang sebelumnya, sebelumnya dan sebelumnya lagi.


Tsamina mina zangalewa
'Cause this is Africa
Tsamina mina eh eh
Waka waka eh eh
Dulu, kalau ada yang nanya sama aku bucklet list untuk negara, maka aku akan jawab salah satunya adalah Afrika. Oh yes, I know, Africa is not a country, what I mean is I want to visit any country in Africa. Jadi saat pak boss menawarkan ke Afrika untuk (again) belajar tentang value chain kopi di sana, rasanya ingin kupeluk dia dengan bahagia!
Uganda menjadi tujuan perjalananku saat itu. Sempat ada tawaran sekaligus berkunjung ke Kenya. Entah kenapa waktu itu aku memutuskan untuk tidak bergabung karena durasi perjalananya yang bisa dua minggu. Dan selalu percaya, kalau merasa belum selesai dengan satu tempat, pastinya akan kembali suatu waktu nanti (amiiin!).
Dari bandara di Kampala, aku langsung dijemput dan dibawa ke Mbale, kota lain yang jaraknya sekitar 3 jam dari Kampala. Mampir buat makan siang di restoran, aku membeli kentang goreng dan ayam. Kesan pertama: eh buset, porsinya besar amat ya! Perjalanan menuju Mbale was not bad at all, in fact, I really enjoy it (jawaban klise kalau ditanya: how was your trip? hahaha). Tapi benar kok, aku menikmati karena memang itu pengalaman baru: rumah-rumah penduduk, pasar, pertokoan bahkan landscapenya. 


Satu pemandangan umum dalam perjalanan, rumah penduduk

Rumah tradisional, yang katanya jadi lumbung juga dan rumah saat ini
Sejauh mata memandang, entah kenapa, aku tidak merasa aku di Afrika. Well, kecuali saat melihat orang di kiri kananku yang berperawakan besar, kadang berambut keriting atau plontos. Ngomong-ngomog soal rambut, aku langsung memutuskan untuk mencoba model rambut itu. Balik ke merasa tidak di Afrika, karena suasananya, mirip kaya di Indonesia: kendaraan, cuaca panas yang lembab, pasar yang rame dan tidak teratur dan buah-buahan yang dijajakan di pinggir jalan. Oh, plus pedagang pinggir jalan itu, akan mengerubuti mobil yang berhenti yang ingin membeli. Sangat Indonesia, ya.
Hotel di Mbale cukup jauh di atas ekspektasi saya. Keren. Sebelum berangkat, saya dibriefing kantor untuk membawa kelambu karena benua ini terkenal dengan endemik malarianya. Ternyata di kamar hotel sudah disediakan kelambu. Juga di hotel di Kampala.
Kelambu di Mbale

Kamar Hotel di Kampala



Semacam gazebo di belakang hotel, biasanya saya dan teman saya bekerja di ruangan ini sambil menikmati minuman hangan atau dingin tergantung cuaca

Suasana belakang hotel di Mbale yang nyaman banget. Makan siang biasanya diadakan di halaman belakang, serasa pesta kebun
Teman saya sudah mengatur perjalanan untuk mengunjungi tempat wisata terdekat, Sipi waterfall. Kayanya ini perjalanan mengunjungi air terjun yang ternyaman yang pernah saya alami. Bayangkan, lokasinya hanya berjalan 5 menit dari parkiran hahahaha. Jadi, saya tidak perlu menuliskan: perjalanan panjang itu terbayarkan dengan pemandangan yang luar biasa hahahaha. Asli basah begitu dekat air terjunnya. Dan percikan-percikan air itu membuat pelangi serasa sangat dekat, nyaris bisa disentuh. Well, bisa disentuh sebenarnya.
The wonderful Sipi Fall


Cukup tentang hotel dan tempat wisata (yang tidak banyak aku kunjungi). Mari bicara sedikit tentang makanan yang ada. Karena, kalau bicara jalan-jalan, ga lengkap kalau tidak cerita makanan yang biasa ada di sana kan ya? Matoke adalah makan pokok di sana, sejenis pisang yang direbus lalu dihaluskan. Rasanya? Ya kaya pisang. Matoke disajikan dengan protein dan serat sayuran kadang dengan salad juga. Aku sih selalu mencari sesuatu yang baru ya, kadang mereka menyajikan nasi, yang tidak aku sentuh, karena pengen mencoba makanan baru. Apakah aku menyukai matoke? Oh well, kalau disuruh memilih mash potato dan mash banana ini, kayanya aku akan memilih mash potato, if you know what I mean.


Makan siang pertamaku di Mbale: Matoke dengan ayam bakar dan kari sapi dengan sayuran dan salad

Sewaktu berkunjung ke desa, di pasar desa (semacam pekan kalau di pasar Sumatra), ada pemandangan yang menarik, aku menemukan samosa dan chapati! Aku sampai takjub dan bertanya: really chapati dan samosa? Mereka bilang, mereka dapat banyak pengaruh India di sini. Bahkan di Kenya (kata teman yang dari Kenya - yang saya sempat diomel-omelin karena ga mampir sana) lebih banyak lagi keturunan India yang sudah tinggal di Kenya dari generasi ke generasi.




Okeh, akan dilanjutkan nanti dengan perjalanan ke desa dan gaya rambut baru saya.