Menurut saya, salah satu keuntungan bekerja di NGO selain kesempatan berkunjung ke tempat baru, juga berkesempatan berkunjung ke tempat-tempat yang bukan tourist mainstreaming area. Misalnya, saat ke Jogja, saya tidak hanya berkunjung ke Maliobor, tetapi masuk sampe ke Bantul, makan sambel welut (yang saat itu belum sampe terkenal ke mana-mana), atau ke Wedi Ombo. Atau saat di Ternate, saya tidak hanya berkunjung ke benteng di sana, tapi menikmati hidup di pondok nelayan di Dodola, yang beberapa tahun kemudian jadi tempat yang sangat terkenal.
Hal yang sama saya alami di Uganda. Saya tidak hanya berkunjung ke Sipi Fall, tapi juga ke desa. Bertemu dengan masyarakat dan tentu saja, ngopi ala masyarakat desa, makan hidangan khas mereka, termasuk kehujanan dan menggunakan daun pisang sebagai payung.
|
Anak-anak yang sedang mengagumi gorrila biru yang ada di tas. Sayangnya, aku tidak punya cukup tabungan untuk ikut safari melihat Gorilla. |
Ada banyak cara untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat, termasuk dengan anak-anak. Saya ingat, dulu, waktu kawat gigi saya belum dicabut, saya bisa menggunakan kawat gigi sebagai penarik awal berinteraksi dengan anak-anak. Kali ini, anak-anak tertarik dengan bonek gorilla yang ada di tas saya.
|
Wefie dong kita!! Saya selalu suka senyum mereka seperti layaknya senyum anak-anak lain di seluruh dunia |
|
Sore-sore, hujan-hujan, habis diskusi kita duduk dan menikmati kopi yang disajikan nyonya rumah |
Berbagi cerita dengan mereka, sangat memperkaya saya. Mereka mirip dengan saya dan budaya saya: bagaimana perempuan dan pemuda sebagai pekerja dalam keluarga, sedikit sekali dalam pengambilan keputusan. Di satu sisi, kadang saya senang karena fesbuk saya kunci, bahwa mereka yang berada dalam level kedua pertemanan yang bisa merequest pertemanan dengan saya. Kalau tidak, mungkin fesbuk saya dipenuhi request dari orang-orang yang hanya berpapasan dengan saya di desa atau di hotel. Saya juga bertemu dengan perempua-perempuan hebat: mereka yang menjadi leader di koperasi, menjadi cupper bahkan mereka yang menjadi evaluator!
|
Permainan yang mirip congklak di Indonesia |
Habis diskusi dengan anggota koperasi, keluar ruangan, saya melihat dua orang laki-laki yang sedang bermain sejenis permainan seperti congklak di Indonesia. Saya melihat mereka bermain sampai 10 menit, tetapi tidak mengerti dnegan pengaturannya. Berbeda dengan congklak yang memiliki dua baris lubang masing-masing 7 lubang, yang ini memilik 4 baris lubang, tanpa kepala atau lumbung. Saya pulang dengan penasaran, karena teman-teman dari Kenya bahkan tidak tahu bagaimana memainkannya. Namanya rejeki anak soleha ya, ketika di Kampala, saya menemukan congklak itu dan pemilik toko dengan berbaik hati mengajarkannya kepada saya cara permainannya. Jadilah papan mainan itu saya bawa pulang, buat bermain bersama Sam dan Joy.
Sejak pertama saya menginjakkan kaki di Uganda, saya pengen sekali mengepang rambut saya ala perempuan Afrika. Tanya sana sini harganya kalau tidak salah kalau dirupiahkan sekitar 300-400ribu. Ngebet banget ya saya, menjelang pulang ke Indonesia (karena baru sempatnya itu) saya mampir di salon yang sudah dibuatkan janji oleh rekan saya. Mereka sih bilang sejam ya, ternyata udah 15 menit kok ga masih jauh dari jadi ya dan si mbak pun memanggil dua lagi temannya untuk membantu.
|
Pengen seperti mbak yang sedang mengepang rambut saya |
Gimana hasilnya? Gimana hasilnya?
Mari kita rewind dulu... wiiiiit. Waktu di hotel di Kampala, resepsionisnya yang rambutnya dikepang bilang begini: I really like your hair. Lalu saya bilang: I like yours. Mukanya langsung kaget dan bilang: really? Saya bilang, saya serius, saya bahkan akan pergi ke salon besok pagi sebelum ke bandara untuk mengepang rambut saya seperti dia.
Bagaimana hasilnya? Bagaimana hasilnya?
Jadi begini ya: setelah dikepang, saya merasa sangat tidak percaya diri. Pertama karena jidat saya kelihatan nongnong banget. Kedua, agaknya memang kepangan model begitu tidak diperuntukkan buat mereka yang berambut lurus. Prinsipnya sebenarnya menambahkan rambut palsu yang kemudian dikepang dengan model sesuai permintaan. karena rambut saya lurus, jadinya orang bisa melihat rambut keluar dari kepangan, tidak mengikuti alur kepangan. Ketiga yang paling serius: Sam ngakak guling-guling, literally guling-guling waktu saya video call dengannya. Dan suami saya! Keempat, perjalanan dari Kampala menuju Dubai lalu KL rasanya sangat menyiksa. Karena kepala berdenyut-denyut (kata mbaknya saya perlu kompres) dan karena saat saya bersandar di kursi, rasanya seperti ada yang mengganjal.
Bagaimana hasilnya? Bagaimana hasilnya?
Kepangan rambut ala Afrika berakhir saat transit di KL. Saya tiba sore dan akan melanjutkan penerbangan paginya ke Medan. Maka saya menghabiskan malam saya di hotel dengan membuka satu persatu kepangan ini. Lama membuka satu jam lebih cepat dari waktu membuat. Saya butuh satu jam lebih untuk membuka semua kepangan yang ada.
|
Ini satu-satunya foto yang berani saya tampilkan, karena sungguh, yang sebelum mulai dibuka terlihat sangat tidak cocok untuk muka saya |
Anak dan suami saya kecewa saya membuka kepangan di KL. Ayah kan pengen ketemu sama perempuan Afrika, katanya sambil ngakak. Yang kubalas dengan cemberut lalu ngakak. Oh well, kadang kearifan lokal memang diperuntukkan untuk orang lokal. Setidaknya saya mencoba, iya kan? bukankah itu bagian dari pengalaman dalam perjalanan?
No comments:
Post a Comment